Rabu, 22 Juli 2020

Demokrasi Liberal di Indonesia

Indonesia Era Demokrasi Liberal adalah sebuah periode dalam sejarah peradaban Indonesia modern. Masa ini berlangsung semenjak tanggal 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Ciri yang paling khas dari masa ini adalah adanya sistem pemerintahan liberal atau parlementer, yaitu pemerintahan yang diisi oleh kabinet-kabinet pimpinan seorang perdana menteri layaknya di negara-negara Eropa modern. Kabinet-kabinet tersebut berganti satu sama lain dalam tempo waktu yang relatif singkat. Dalam kurun waktu 9 tahun, terdapat 7 kabinet pemerintahan yang pernah memimpin jalannya pemerintahan Indonesia, yaitu Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan Kabinet Djuanda.


1.Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Mochammad Natsir yang berasal dari partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Beberapa program kerja kabinet Natsir yang terkenal adalah: pendaftaran Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), persiapan penyelenggaraan pemilihan umum, dan pelaksanaan program ekonomi bernama Gerakan Benteng. Kabinet ini harus mundur karena menghadapi mosi tidak percaya dari Partai Nasional Indonesia (PNI) atas sebuah produk hukum yang diduga menguntungkan Masyumi selaku partai pimpinan koalisi kabinet secara politis. Produk hukum tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1950 (Perpu No. 50 Thn. 1950) terkait Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).


2.Kabinet Sukiman (27 April 1951- 3 April 1952)

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Sukiman Wirjosandjojo yang berasal dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Beberapa program kerja kabinet Sukiman yang terkenal adalah isu-isu terkait hubungan industrial (urusan perburuhan). Contoh isu hubungan industrial yang hangat dibahas dalam kabinet ini adalah penetapan upah minimum, pembentukan peraturan mengenai serikat buruh, dan gagasan mengenai Tunjangan Hari Raya (THR). Kabinet ini harus mundur karena menghadapi mosi tidak percaya dari seluruh partai politik yang ada atas sebuah dugaan penyelewengan teknis dan ideologis terkait dana bantuan asing yaitu Mutual Security Act (MSA) dari Amerika Serikat yang notabene adalah Negara Blok Barat.


3.Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Wilopo yang berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Beberapa program kerja kabinet Wilopo yang terkenal adalah saat penanganan konflik internal dalam tubuh militer yang sempat berkembang hingga ke skala layaknya sebuah kudeta. Konflik yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 ini berlangsung karena adanya kemarahan Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat (TNI–AD) yang mendengar adanya upaya perombakan organisasi militer oleh para politikus di parlemen. TNI–AD menganggap bahwa hal yang berbau politik mengganggu profesionalitas dan efisiensi militer, dan mereka mengajukan protes kepada presiden untuk turun tangan dalam mengatasi politikus yang ikut campur. Kabinet ini harus mundur karena menghadapi mosi tidak percaya dari sebuah kelompok bernama Serikat Tani Indonesia atas tragedi konflik berdarah yang bernama “Peristiwa Tanjung Morawa” pada 16 Maret 1953.


4.Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Ali Sastroamidjojo yang berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Beberapa program kerja kabinet Ali Sastroamidjojo I yang terkenal adalah persiapan pemilu di tahun 1955, penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA), dan program ekonomi bernama “Sistem Ekonomi Ali-Baba.” Selain itu, kabinet ini berhasil mengurusi persiapan-persiapan pemilu seperti penyusunan dasar hukum yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemilu. Kabinet ini harus mundur karena menghadapi mosi tidak percaya dari partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menarik dukungan mereka terhadap kabinet, sehingga secara sistem parlemen Kabinet Ali Sastroamidjojo I kekurangan suara yang dibutuhkan untuk tetap memimpin pemerintahan. Program pemilu yang sudah disusunpun harus diselenggarakan di kabinet selanjutnya, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap.


5.Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Burhanuddin Harahap yang berasal dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Beberapa program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yang terkenal adalah penyelenggaraan pemilu 1955, harmonisasi hubungan Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat (TNI-AD), dan pemutusan hubungan Uni Indonesia-Belanda sebagai bentuk protes atas masalah Irian Barat. Kabinet ini harus mundur karena kinerja program kabinet ini hanya sebatas menyelenggarakan jalannya pemilihan umum 1955 saja. Seusainya pemilihan umum digelar, pemenang pemilu tersebut akan menjadi kabinet pemerintahan berikutnya.

 

6.Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Ali Sastroamidjojo yang berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Berbeda dengan yang lainnya, kabinet ini menjadi satu-satunya kabinet yang memerintah melalui pemilihan umum di masa Indonesia era demokrasi liberal. Beberapa program kerja kabinet Ali Sastroamidjojo II yang terkenal adalah pembatalan hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai bentuk protes kepada Belanda, serta urusan pemerintahan dalam negeri. Kabinet ini harus mundur karena menghadapi mosi tidak percaya dari salah satu organisasi binaan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang bernama “Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia.” Dengan demikian, secara sistem parlemen Kabinet Ali Sastroamidjojo II kembali kekurangan suara yang dibutuhkan untuk tetap memimpin pemerintahan.


7.Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)

Perdana menteri sekaligus pimpinan kabinet ini adalah Djuanda Kartawidjaja yang merupakan tokoh profesional (teknokrat). Berbeda dengan yang lainnya, kabinet ini menjadi satu-satunya kabinet yang berkuasa melalui mandat yang diberikan langsung oleh Presiden Soekarno melalui peristiwa yang bernama “Konsepsi Presiden” pada tanggal 21 Februari 1957. Beberapa program kerja Kabinet Djuanda yang terkenal adalah musyawarah nasional antar tokoh daerah dan tokoh yang melalukan protes dan pemberontakan, lalu pengupayaan Irian Barat, dan juga Deklarasi Djuanda. Kabinet ini harus mundur karena perubahan sistem politik yang dilakukan Presiden Soekarno melalui sebuah peristiwa besar yang bernama “Dekrit Presiden” pada tanggal 5 Juli 1959. Merubah dari demokrasi liberal berubah menjadi demokrasi terpimpin.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUMBER DAN TEORI MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA

            SUMBER MASUKNYA AGAMA DAN KEBUAYAAN HINUD-BUDHA DI INDONESIA a. Sumber Dari India Bukti adanya hubungan dagang tersebut dapa...