KERAJAAN SINGHASARI
Setelah berakhirnya Kerajaan
Kediri, kemudian berdirilah Kerajaan Singasari yang diperintah
oleh Ken Arok sejak tahun 1222-1227
M, dan kerajaan Singasari berlangsung
sekitar 70 tahun. Singasari yang memiliki ibu kota, yaitu Tumapel. Pada awalnya, Tumapel
adalah wilayah kabupaten yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Kediri dengan bupati/akuwu bernama Tunggul
Ametung. Akan tetapi, Tunggul Ametung kemudian dibunuh oleh Ken Arok. Kalian tahu penyebabnya? Semua
itu dilakukan oleh Ken Arok karena ia terpikat dengan Ken Dedes,
yaitu istri dari Tunggul Ametung.
Ken Arok membunuhnya dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring.
Padahal, keris itu belum siap untuk
dipakai, tapi karena
Ken Arok sudah tidak sabar ingin memperistri Ken
Dedes, direbutlah keris itu dari Mpu
Gandring, sekaligus Mpu Gandring dibunuh dengan keris buatannya sendiri oleh Ken Arok. Sebelum meninggal,
Mpu Gandring mengutuk Ken Arok, bahwa keris itu nantinya akan membunuh sampai
tujuh turunan Ken Arok. Menarik
ya Squad. Akhirnya
Ken Arok menjadi
Bupati/akuwu Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang terbunuh.
Ken
Arok menjadi raja setelah ia menyerang kerajaan Kediri yang saat itu dipimpin oleh Kertajaya.
Kertajaya mengalami kekalahan dan Ken Arok berhasil
menguasai wilayah Tumapel
dan melepaskannya dari kerajaan Kediri.
Ken Arok memiliki
gelar Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabumi. Oh ya, Singasari
juga memiliki hubungan
baik dengan Majapahit, semua itu tertulis dalam Kitab
Negarakertagama. Pergantian kekuasaan
terjadi karena Ken Arok dibunuh oleh kaki tangan Anusapati yang merupakan anak tirinya. Anusapati
kemudian menjadi raja menggantikan Ken Arok.Di bawah pemerintahan Raja Kertanegara, Singasari
mengalami masa kejayaan.
Di
bawah pemerintahannya dilakukan ekspedisi Pamalayu 1275- 1286 M dengan tujuan untuk menaklukkan kerajaan
Melayu dan melemahkan kerajaan Sriwijaya. Selain itu Kertanegara juga berhasil menguasai Bali (1284 M), Jawa Barat (1289
M), Pahang dan Tajung Pura. Bahkan
Kertanegara mampu mencegah serangan Khu Bilai Khan terhadap Singasari. Kertanegara bertujuan untuk
menyatukan seluruh Nusantara dibawah kerajaan
Singasari. Kertanagara
adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1272 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275
ia mengirim pasukan
Ekspedisi Pamalayu untuk
menjadikan Sumatra sebagai
benteng pertahanan dalam menghadapi
ekspansi bangsa Mongol.
Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan
Dharmasraya (kelanjutan dari
Kerajaan Malayu).
Kerajaan ini akhirnya dianggap
telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca
Amoghapasa yang dari Kertanagara,
sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi
menaklukkan Bali. Pada
tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim
utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan
daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Peta wilayah
kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit
menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan Pada tahun 1291 M Raja
Kertanegara di Singasari wafat, kemudian
kerajaan Singasari diserang secara mendadak oleh Jayakatwang yang merupakan
raja Kediri. Pada masa itu menantu Kertanegara, Raden Wijaya berhasil
melarikan diri ke Madura.
Raden Wijaya mengumpulkan kekuatan
untuk menyerang balik Jayakatwang dan bekerjasama dengan pasukan Tiongkok.
Setelah kerajaan Singasari berhasil ditaklukkan, Raden Wijaya ingin
kemenangan tunggal. Sehingga
ia kembali melakukan penyerangan terhadap pasukan Tiongkok. Raden Wijaya mencapai kemenangan dari penyerangan
tersebut dan menjadi penguasa tunggal di
Jawa. Sehingga pada tahun 1292 M, kerajaan Majapahit resmi berdiri. Masa pemerintahan kerajaan ini
berlangsung cukup lama, sekitar
193 tahun.
Setelah
Raden Wijaya wafat, tahta Raja digantikan oleh Raden Jayanegara yang merupakan anak dari Raden Wijaya.
Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan. Pemberontakan yang paling besar adalah
pemberontakan Kuti, yang akhirnya menyebabkan ia harus mengungsi ke Desa Bedander bersama Gajah Mada. Kemudian
Jayanegara merencakan serangan balik kepada Kuti bersama
Gajah Mada.Setelah penyerangan berhasil, Gajah Mada diangkat menjadi
patih. Setelah Jayanegara wafat, tahta diberikan
kepada putrinya, Tribhuwanatunggadewi. Pada masa
pemerintahannya terjadi pemberontakan Sadeng pada tahun 1331 M, yang akhirnya mampu ditumpas oleh Gajah Mada.
Berkat upayanya, Gajah Mada
diangkat sebagai Patih Mangkubumi Majapahit dan memiliki wewenang menetapkan politik pemerintah. Saat upacara pelantikan, Gajah Mada menyampaikan sumpahnya yang dikenal dengan
Sumpah Palapa. Ia bersumpah tidak
akan hidup mewah sebelum menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit. Peninggalan sastra dari kerajaan Majapahit ini cukup banyak,
diantaranya adalah Kitab Negarakertagama karangan
Empu Prapanca, Kitab Sutasoma karangan
Empu Tantular, dan Kitab Arjunawiwaha karangan Empu Tantular.
PENGARUH
BUDAYA HINDU BUDHA DI INDONESIA
JARINGAN PERDAGANGAN DAN PELAYARAN
Sebagai
bangsa Austronesia yang hidup diwilayah lautan selatan, bangsa Indonesia telah
memiliki sejarah yang panjang sebagai negara maritim. Kemaritiman bangsa
Indonesia dapat kita telusuri sejarahnya sejak jaman praaksara, namun mulai
jaman Hindu Buddha jejak jejak kemaritiman ini dapat kita temui dalam bentuk
relief gambar maupun tulisan yang terpahat dalam prasasti. Seperti contoh
diatas ini adalah relief kapal yang terpahat di candi Borrobudur yang dibangun
sekitar abad ke 9. Salah satu Sumber sejarah mengenai penggunaan perahu atau
kapal sebagai alat transportasi dan pengangkutan adalah dari prasasti kamalagyan (1037 M) dan
prasasti Pinambangan ( 903 M) yang diterbitkan oleh Mpu Sindok dari kerajaan
Mataram. Dalam prasati itu disebutkan kata Masunghara yang digunakan untuk
menyebut perahu, ada juga yang menggunakan istilah Lancang untuk menunjuk kata
perahu seperti yang ditulis dalam prasasti Mananjung yang ditemukan di daerah
Malang. Kata Lancang sering dikaitkan dengan kata Lamchara yang menunjukkan
sejenis kapal dagang lintas laut yang diperkitakan memiliki kapasitas angkut
hingga 150 ton. Gambaran ini sesuai dengan relief yang dipahatkan didinding
Borrobudur yang menunjukkan gambaran bahwa pada masa ini telah berkembang
teknik pembuatan kapal yang sudah sangat pesat sehingga dapat kita simpulkan
bahwa pada abad ke 9 M pelayaran di Indonesia ( khusunya Mataram) Sudah sangat
Maju.
Jalur-jalur
perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan
ekonomi, pada perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang
berbeda-beda. Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan datang dari
pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa
perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar,
yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan
super power pada masanya dan
mempunyai pengaruh amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia.
Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah
tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung
terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka
menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara
pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India. Pada masa itu, Selat Malaka
merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang
melintasi bandar-bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia.
Selat itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah
barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. Jalur
ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”.
Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1 M hingga abad ke-16 M, dengan komoditas
kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya
rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur,
antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).
Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut.
Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian
terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal,
yaitu:
·
Pertumbuhan jalur perdagangan yang
melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai
·
Kemampuan mengendalikan (kontrol)
politik dan militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur
utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
Jadi,
prasyarat untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan ditentukan oleh dua
hal penting yaitu perhatian atau cara pandang, dan kemampuan menguasai lautan. Kehidupan
penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses
integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi
lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan
pedagang-pedagang asing yang melewati jalur itu.
Di
samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh
budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh
terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya
terutama India masih dapat kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.
Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka
dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan dan budaya
antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama
karena terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. Mereka secara
tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat
di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus.
Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-
rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala.
Pertumbuhan
jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik
baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti
ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang
datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di
pantai timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai Batanghari. Agak ke
selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa
sanskerta, Sriwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung
barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman,
di Jawa bagian tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bagian timur ada
Singhasari dan Majapahit. Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar
Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini
dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit.
Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya adalah kemampuan
kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang
luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan
wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan
dari kerajaan- kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau
secara lambat laun mulai terbentuk. Kerajaan utama yang disebutkan di atas
berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol
sejumlah wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain dengan
kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi
antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang membuat mereka berhasil
mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan
tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi
pusat-pusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih
kecil di Nusantara. Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam
bentuk hubungan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit).
Keuntungan yang diperoleh dari pusat kekuasaan antara lain, berupa pengakuan
simbolik seperti kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang
digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang dapat
diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya
kerajaan-kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus kebanggaan
atas hubungan tersebut. Jika pusat kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan
dalam mengontrol dan melindungi daerah bawahannya, maka sering terjadi
pembangkangan dan sejak itu kerajaan besar terancam disintegrasi.
Kerajaan-kerajaan
kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan- kerajaan besar
lama dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang memiliki kemampuan
mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa
Hindu-Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun
secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat,
sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan
oleh kekuatan politik dan perdagangan.
Nah
setelah kalian membaca uraian di atas, kalian dapat mulai melakukan penelitian
tentang jenis jenis perahu / kapal yang berkembang mulai dari masa pra aksara
hingga masa Hindu Buddha. Selanjutnya kalian bisa melakukan penelitian yang
kedua adalah tentang bagaimana perkembangan teknik pembuatan kapal yang
tentunya berasal dari masa sebelum abad ke-9.
AKULTURASI BUDAYA
Bangsa
kita telah memiliki peradaban yang tinggi, yang dapat kita lihat dari berbagai
peninggalan budaya. Salah satunya Punden Berundak-undak yang fungsinya sebagai
tempat pemujaan roh nenek moyang. Punden berundak merupakan cikal bakal
berdirinya sebuah candi yang merupakan sebuah percampuran budaya dengan
masuknya agama hindu budha. Masuknya agama Hindu Budha diawalai dengan masuknya
pedagang pedagang India dengan membawa seluruh akal budaya dan kepandaian
mereka, maka terjadilah proses interaksi mereka dengan masyarakat di nusantara.
Terjadinya akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan India
adalah karena kebudayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima
begitu saja oleh bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan :
·
Masyarakat Indonesia telah memiliki
dasar dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing
menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
·
Masyarakat Indonesia memiliki kecakapan
istimewa yang disebut local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima
unsur unsur tersebut sesuai kepribadiannya.
Akulturasi
kebudayaan adalah suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang
satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru.
Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak
kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat
berakulturasi, masing- masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk
kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.
Contoh hasil akulturasi
antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan asli Indonesia sebagai berikut
:
Seni
Bangunan
·
Candi
Candi adalah
istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk
kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala
yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat
pemujaan dewa- dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi'
tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak
situs-situs purbakala non- religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik,
baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga
disebut dengan istilah candi. Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal
para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Karena itu, seni
arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias
yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang
disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari
unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
·
Stupa
Di
India bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat penyimpanan abu jenazah
kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan Buddha, stupa menjadi
tempat menyimpan relik Buddha sendiri. Setelah wafat lalu dikremasi, sisa
pembakaran yang berupa kristal, disebut relik atau sarira disimpan dalam
delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara. Dalam perkembangannya,
stupa menjadi lambing Buddhisme itu sendiri.
Semasa
pemerintahan Ashoka, dibangun banyak stupa untuk menandakan kedudukan Buddha
sebagai agama utama di India. Demikian pula di Asia Timur dan Asia Tenggara,
stupa didirikan sebagai bukti pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah yang
bersangkutan. Bagi kita sekarang, stupa dapat menjadi petunjuk seberapa luas
Buddhisme tersebar di suatu wilayah Sebagai lambang perjalanan sang Buddha
mencapai nirwana, bangunan terdiri atas 3 bagian, yaitu andah, yanthra, dan
cakra. Pembagian dan maknanya tidak jauh berbeda dengan candi.
Bangunan
stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri di banding di India maupu n
Asia Timur, dimana banyak stupa yang berdiri sendiri sedangkan di Indonesia
bangunan stupa menjadi bagian dari candi, seperti candi mendut dan candi
Borobudur.
·
Arca
Arca
adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu
sarana pemujaan terhadap Tuhan atau Dewa. Arca berbeda dengan patung pada
umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah keindahan.
Oleh karena itu, membuat arca tidaklah sesederhana membuat sebuah patung.
·
Seni Rupa
Masuknya
pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat dan
seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan
pada bagian dinding candi. Misalnya , relief yang dipahatkan pada dinding pagar
langkan di candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Budha. Di sekitar
sang Budha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung
merpati.
·
Seni Pertunjukan Wayang
Wayang
adalah salah satu unsur budaya asli Indonesia, sebelum datangnya budaya India
ceritanya adalah cerita asli Indonesia dengan tokoh tokoh pewayangan yang sudah
sangat dikenal masyarakat seperti Semar, Petruk, Gareng dan lain lain, Tokoh
tokoh tersebut adalah hasil kreasi dari local genius masyarakat Indonesia dan
dibuat untuk menambah rasa local dalam cerita pewayangan . Terutama di dalam
pewayangan Jawa banyak sekali lakon yang sudah cukup akrab di telinga
masyarakat Jawa. Sedangkan setelah masuknya budaya dari India ceritanya
mengambil cerita India seperti Ramayana dan Mahabrata dengan tokoh Rama ,
Shinta, Gatotkaca , Bima, Basudewa dan lain lain.
·
Sistem Pemerintahan
Sebelum
datangnya budaya India, sistem pemerintahan di Indonesia adalah pemerintahan
dalam lingkup suku yang dikepalai oleh seorang kepala suku. Kehidupan manusia
pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan yang cukup pesat. Masyarakat
telah memiliki tempat tinggal yang tetap. Dalam perkembangannya, pola hidup
menetap telah membuat hubungan social masyarakat terjalin dan terorganisasi
dengan lebih baik.
Dalam
masyarakat yang walaupun masih sangat sederhana ini dibutuhkan keberadaan
keberadaan seorang pemimpin yang mengatur kehidupan Bersama yang telah
tersusun, pemipin tersebut adalah seorang kepala Suku. Pemilihan kepala suku
dilakukan dengan menggunakan sistem primus interpares yang utama diantara yang
lain, syarat-syarat untuk menjadi kepala suku di antaranya harus memiliki
kesaktian, kewibawaan, dan memiliki jiwa keperwiraan. Setelah datang budaya
dari India kepala suku tersebut menjadi Raja dan terbentuklah sistem
pemerintahan kerajaan.
·
Sistem Kepercayaan
Kepercayaan
Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak persis sama seperti yang berkembang
di India, melainkan kepercayaan tersebut berpadu dengan kepercayaan yang sudah
berkembang sebelumnya di Indonesia salah satunya Animisme, seperti pada wujud
candi Borobudur , yaitu dengan meletakan stupa di puncak punden berundak undak
yang dianggap sebagai tempat suci dalam sistem kepercayaan animisme.
Di India, Raja adalah
Raja yang memimpin dalam sebuah pemerintahan, namun raja raja di Indonesia Raja
bukan hanya sekedar pemimpin dalam sebuah pemerintahan, melainkan raja raja di
Indonesia juga dipandang seperti Dewa. Dewaraja adalah konsep Hindu-Buddha yang
memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini
berkembang di Asia Tenggara. Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang
menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi,
sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu.
Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau
justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini
mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana
monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk
memuliakan raja di atas bumi.
Dalam
bahasa Sanskerta istilah Dewa-Raja dapat bermakna "raja para dewa"
atau "raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat Hindu, jabatan
dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya
Indra. Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan
bayangan kerajaan fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa
yang hidup di muka bumi. Seperti isi Prasasti Ciaruteun berikut ini : “ Inilah
tanda sepasang kaki seperti kaki Dewa Wisnu ( pemelihara ) ialah telapak yang
mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma , raja yang gagah berani di dunia
“. Apa yang tergambar dalam prasasti dari Kerajaan Tarumanegara itu bukan
satu-satunya yang menggambarkan penyebutan raja seperti dewa . Pada masa kuno,
umum terjadi jika seorang pemimpin, yaitu raja, dipuja bagai penjelmaan dewa.
Hal itu dikenal dengan konsep dewaraja atau raja suci, raja yang memiliki sifat
keramat seperti dewa.
·
Sistem Penanggalan
Penggunaan
Kalender Saka di Indonesia dimodifikasi dengan unsur unsur penaggalan lokal
terutama di Jawa dan Bali,seperti penggunaan Candra Sangkala atau kronogram
dalam memperingati sebuah Peristiwa. Candra Sangkala adalah tanda atau
penulisan tahun dalam bentuk sandi ( perlambang ) biasanya diwujudkan dalam
bentuk untaian kalimat agar mudah diingat. Berbagai peristiwa yang diberi
sengkalan bermacam macam, diantaranya : berdirinya sebuah kerajaan, runtuhnya
kerajaan, meninggalnya raja dari suatu kerajaan, tahun pembuatan karya sastra
dll.
·
Sistem Huruf
Sebelum
masuknya budaya dari India bangsa Indonesia belum mengenal tulisan ( Sistem
huruf ) maka dikatakan masih berada pada jaman Pra Sejarah, masuknya budaya
India membawa kepandaian menulis dan membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam
jaman Sejarah. Maka dalam unsur budaya menulis tidak terjadi proses akulturasi
, karena bangsa Indonesia sebelumnya memang belum mengenal tulisan ( system
huruf ). Sistem huruf yang diadopsi ini kemudian dikembangkan oleh bangsa
Indonesia hingga melahirkan huruf jawa kuno, huruf Melayu Kuno dll.