Senin, 07 September 2020

MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI TERPIMPIN


 

Pada masa ini, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dikeluarkannya Dekrit tersebut disebabkan karena ketidakmampuan konstituante untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian di dalam praktik ketatanegaraannya dalam sistem Demokrasi Terpimpin ini tidak dilaksanakan secara konsekuen, bahkan justru sebaliknya, karena di dalam praktiknya sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya, realisasinya justru yang memimpin demokrasi ini bukan Pancasila tetapi dipimpin oleh Presiden Soekarno. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia dengan menggunakan Pancasila sebagai pedomannya, akan tetapi didasarkan kepada keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik Presiden Soekarno. Sebelum mempelajari kegiatan belajar berikutnya peserta didik diharapkan mempelajari demokrasi terpimpin.

A.   Kondisi Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin adalah suatu paham yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme, nasionalisme, fasisme, dan komunis. Akan tetapi, suatu paham demokrasi yang didasarkan kepada keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang menuju pada suatu tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agusturs 1945.

Dengan dikeluarkannya “Dekrit Presiden”, Kabinet Karya dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Kerja yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Presiden sekaligus bertindak sebagai perdana menteri, sedang Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri pertama. Program pokok kabinet meliputi penyelesaian masalah keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan masalah sandang pangan.

Pada periode ini Presiden Soekarno hampir memegang seluruh kekuasaan. Presiden menciptakan sistem politik yang dinamakan Demokrasi Terpimpin. Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan No. 7 Tahun 1959 untuk mengatur kehidupan partai politik di Indonesia, yang antara lain menyebut bahwa hanya partai-partai yang dapat menerima Pancasila yang akan diberi hak hidup. Partai Masyumi dan  PSI dibubarkan  karena  ada  tokoh-tokohnya  yang dianggap terlibat PRRI/Permesta. Lembaga-lembaga tertinggi negara diubah oleh Presiden. DPR dan MPR dibentuk tanpa melalui pemilu dengan nama DPR Gotong Royong dan MPR Sementara. Selain itu dibentuk pula lembaga-lembaga inkonstitusional seperti Front Nasional yang bertujuan memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945 serta Depernas (Dewan Perancang Nasional) yang bertugas merancang pembangunan nasional.

Dalam masa Demokrasi Terpimpin ada kekuatan politik waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI disampingnya. TNI sejak keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan PRRI-Permesta pada tahun 1958 muncul dalam arena politik. Pimpinan TNI mendukung sepenuhnya diberlakukannya kembali UUD 1945. TNI Angkatan Darat selalu berusaha agar Demokrasi Terpimpin tidak berubah menjadi kediktatoran. Wadah organisasi TNI AD adalah Golongan Karya.

Sedangkan PKI yang sejak tahun 1952 bangkit kembali setelah ditumpas dalam pemberontakan Madiun (1948), dengan menerima Pen Pres No. 7/1959 partai ini mendapat tempat dalam tatanan politik. Kemudian dengan menyokong gagasan NASAKOM (Nasionalisme- Agama-Komunisme) dari Presiden, PKI dapat memperkuat kedudukannya dan berusaha menyaingi TNI.

Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato itu merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 serta kebijaksanaan Presiden dalam mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin. DPA mengusulkan agar pidato Presiden tersebut dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan dinamakan Manipol (Manifesto Politik). Usul tersebut kemudian diterima oleh MPRS. Landasan Manipol adalah ajaran-ajaran Bung Karno sejak tahun 1927 yang dikembangkan menjadi satu kekuatan politik dan disebut Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).

Ajaran ini mengukuhkan presiden sebagai penguasa tunggal. “Politik adalah Panglima” merupakan semboyan pada waktu itu. Segala hal dalam kehidupan bernegara diarahkan untuk kepentingan politik belaka. Ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan kesenian harus diletakkan di atas kepentingan politik. Arah politiknya adalah sosialisme. Keadaan ini menguntungkan PKI karena sejak semula tujuan perjuangan politiknya adalah menggalang persatuan nasional di bawah kekuatan komunis.

Politik pemerintah zaman Demokrasi Terpimpin memang sangat menguntungkan PKI. Azas “Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif” pun diganti dengan doktrin politik baru yang mempertentangkan New Emerging Forces (Nefos) dan The Old Established Forces (Oldefos). Nefos pertama adalah negara-negara Asia dan Afrika yang anti barat, dan Oldefos adalah negara-negara barat dan antek-anteknya yang merupakan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imprealisme). Asas politik baru ini dapat digunakan dengan baik oleh PKI karena tidak berbeda jauh dengan pandangan komunisme.

Satu program Kabinet Kerja yang pada hakekatnya merupakan tuntutan nasional adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini merupakan bagian dari Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945, tetapi Belanda belum bersedia menyerahkan bahkan berlarut-larut sampai tahun 1962. Mula-mula Indonesia mencoba memperjuangkan kembalinya wilayah itu melalui PBB, tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif. Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengambil sikap tegas yaitu merencanakan penyerbuan ke Irian Barat. Rencana ini dinamakan Tri Komando Rakyat atau Trikora. Dalam rangka mencari bantuan untuk operasi militer ke Irian Barat itulah Pemerintah RI mendekati Uni soviet. Langkah ini ditempuh setelah negara-negara barat (terutama Amerika Serikat) tidak bersedia memberikan dukungan. Dalam rangka membebaskan Irian Barat inilah pada tahun 1962 dibentuk Komando Mandala di bawah pimpinan Kolonel Soeharto.

Dengan dibentuknya Operasi Mandala, maka suasana perang semakin dekat. Amerika Serikat kemudian mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan. Amerika Serikat khawatir situasi itu dapat digunakan Uni soviet menanamkan kekuasaannya di wilayah Pasifik, yang akan merugikan pihak Barat dalam “Perang Dingin”. Usaha ini berhasil dan pada tanggal 15 Agustus 1962 pihak Belanda dan Indonesia menandatangani Perjanjian New York. Duta Besar AS untuk PBB Ellsworth Bunker menjembatani pertikaian ini. Bunker mengusulkan agar Irian Barat diserahkan kepada Indonesia melalui PBB dalam waktu dua tahun. Dalam masa peralihan itu Irian Barat dipegang oleh suatu badan PBB, UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Badan ini menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963.

Dukungan Uni Soviet dalam merebut Irian Barat memberikan jalan bagi PKI untuk mempengaruhi kebijakan politik Bung Karno. Hal itu memungkinkan PKI mendapat nama yang terhormat dan menghapus tindakan pemberontakannya melalui peristiwa Madiun. Masalah Malaysia pun merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapat tempat dalam kalangan pimpinan negara. Masalah ini muncul ketika Tengku Abdulrakhman mengusulkan pada pemerintah Inggris untuk membentuk federasi antara daerah-daerah jajahan Inggris di Asia Tenggara. Federasi tersebut Federasi Malaysia yang meliputi daerah-daerah Malaya, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Indonesia dengan tegas menolak pembentukan federasi tersebut. Pemerintah Indonesia waktu itu menganggap bahwa federasi itu proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia. 

PKI yang sangat berpengaruh waktu itu berusaha mendorong Indonesia ke arah melakukan Konfrontasi. Filipina juga merasa dirugikan dengan pembentukan federasi tersebut. Karena itu masalah federasi menjadi masalah internasional dan menimbulkan ketegangan di Asia Tenggara. Untuk menghindari terjadi perang di Asia Tenggara, kemudian diusahakan penyelesaian melalui perundingan. Setelah itu kemudian dilakukan perundingan-perundingan baik di Tokyo maupun di Manila. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Manila 7 Juni 1963, wakil Indonesia dan Filipina menyatakan bahwa tidak berkeberatan atas pembentukan federasi tersebut asal memang dikehendaki oleh rakyat Kalimantan Utara. Dan untuk mengetahui kehendak rakyat Kalimantan Utara tersebut harus dilakukan oleh PBB. Untuk itu kemudian dibentuk tim untuk melaksanakan Referendum. Namun sebelum tim ini selesai menjalankan tugas Tengku Abdulrakhman dan Inggris telah mengumumkan berdirinya Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963. Indonesia mengajukan protes, karena menganggap Tengku Abdulrakhman melanggar Konferensi Tingkat Tinggi di Manila. Dalam konferensi tersebut Tengku Abdulrakhman menjanjikan untuk menangguhkan Proklamasi Federasi Malaysia sampai Tim PBB menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia tidak bersedia mengakui Federasi Malaysia dan membuka tahap baru dalam konfrontasinya terhadap Malaysia. Kemudian pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk menggagalkan dan menghancurkan Federasi Malaysia.

B.     Kondisi Ekonomi pada Masa Terpimpin

Dekrit Presiden yang dikeluarkan 5 Juli 1959 juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi. Presiden kemudian mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan ekonomi harus dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah dalam ekonomi terutama nampak dalam kebijaksanaan moneternya.

Untuk membendung inflasi Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1959 yang mulai berlaku 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp 500,00 dan Rp 1.000,00 diturunkan nilainya masing-masing menjadi Rp 50,00 dan Rp 100,00. Di samping itu juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar, terutama dalam tahun 1957 dan 1958. Sementara perdagangan  ekspor-impor  dan  perdagangan  dalam  negeri juga mengalami kemerosotan sehingga penghasilan negara juga merosot. Dengan demikian defisit anggaran belanja menjadi meningkat, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat ditutup dengan pinjaman-pinjaman dari luar negeri. Hal-hal itu menyebabkan makin bertambahnya percetakan uang kertas. Sebagai tindak lanjut pengeluaran uang baru pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959. Isi peraturan tersebut bahwa bagian lembaran uang lama Rp 1.000,00 dan Rp 500,00 harus segera ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum 1 Januari 1960. Untuk itu kemudian dibentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut tindakan moneter tersebut. Tindakan moneter ini dimaksudkan untuk mengindahkan inflasi dan mencapai keseimbangan serta kemantapan moneter.

Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi tindakan pemerintah ini ternyata mengalami kegagalan. Volume uang yang beredar dari waktu ke waktu semakin meningkat. Apalagi pemerintah kembali melakukan kebijakan moneter yaitu mengeluarkan uang rupiah baru yang nilainya ditetapkan sebesar 1000 kali uang rupiah lama. Jumlah uang yang beredar semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada akhir 1966.

Hal itu diperparah lagi dengan tidak adanya kemauan pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyek-proyek mercusuar seperti Ganefo dan Conefo (Games of the New Emerging Force dan Conference of the New Emerging Forces).

Adanya proyek-proyek tersebut memaksa pemerintah mengeluarkan dana semakin besar. Akibatnya inflasi semakin meningkat dan harga-harga semakin membubung. Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200% - 300% dari harga tahun 1964) selaras dengan tingkat kenaikan peredaran yang paling tinggi dalam tahun 1965, karena ekspor merana, impor pun harus dibatasi sesuai kekuatan devisa.

Sejak tahun 1961 pemerintah secara terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia kehabisan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta. Hal ini terjadi terutama karena politik konfrontasi dengan Malaysia.

Di samping itu dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin Presiden Soekarno menganggap perlu mengintegrasikan semua bank ke dalam suatu organisasi Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum.

Sebagai langkah pertama untuk menuju Bank Tunggal Milik Negara itu terlebih dahulu diadakan integrasi bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah proses pengintegrasian itu selesai, barulah dibentuk Bank Tunggal Milik Negara yang dibagi dalam beberapa unit, masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya. Keadaan demikian itu berlangsung terus sampai bank tunggal itu dibubarkan pada tahun 1968 (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968).

Yang menarik dari Bank Tunggal Milik Negara itu ialah bahwa pengintegrasian bank-bank negara dalam bentuk tunggal diatur melalui penetapan Presiden, sedangkan bank-bank yang bersangkutan, sebelum diintegrasikan dibentuk atau didirikan atas dasar undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pada tahun 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 081 dan Keputusan Presiden Nomor 360 Tahun 1964 yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan dana-dana revolusi. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Impor dengan kredit ini dilakukan karena persediaan devisa sangat minus.

Pada waktu itu memang persediaan devisa menipis sekali. Dalam praktek barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment itu adalah barang-barang yang tidak bermanfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan spekulasi dalam perdagangan misalnya scooter dan barang-barang luks lainnya. Jumlah izin impor dengan deferred payment khusus ini kira-kira US$ 270 juta. Untuk setiap satu dolar Amerika yang diimpor dengan deferred payment itu orang harus menyetor antara Rp 250 sampai Rp 1.000,00 (uang lama) untuk Dana Revolusi di samping kadang-kadang harus juga membayar dengan valuta asing dalam jumlah tertentu. Karena kebijaksanaan kredit luar negeri itu hutang-hutang negara semakin menumpuk sedangkan ekspor semakin menurun dan devisa makin menipis. Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau ditangguhkan. Republik Indonesia tidak mampu membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, sehingga terjadi insolvensi internasional, sebab itu beberapa negara menghentikan impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar. Di dalam negeri berakibat mengganggu, menghambat atau mengacaukan produksi, distribusi dan perdagangan, serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.

C.     Peristiwa Gerakan 30 September/PKI 1965

Dalam periode demokrasi terpimpin PKI memperoleh kesempatan untuk membangun dan mengembangkan kekuatan politiknya. Terbukanya kesempatan itu sebenarnya tidak lepas dari sikap Presiden Soekarno yang beranggapan masih dapat mengendalikan PKI. Namun ternyata PKI mempunyai tujuan lain. PKI pun membuat persiapan-persiapan untuk mewujudkan tujuan partainya. Suatu bagian yang sangat dirahasiakan yang dikenal dengan nama “Biro Khusus” dibentuk oleh Aidit. Biro ini dimaksudkan untuk “membina anggota ABRI”. Dengan demikian diharapkan akan ada satu kelompok ABRI yang memihak pada PKI. Pengikut-pengikut PKI dalam ABRI ini disebut “Perwira-perwira Progresif”. PKI juga membentuk pasukan sendiri melalui pasukan sukarelawan yang dilatih dalam rangka “Ganyang Malaysia”.

Gerakan sukarelawan itu dilatih secara khusus dengan bantuan Peking. Sejak awal tahun 1965, Peking menganjurkan pada pemerintah RI agar pasukan-pasukan sukarelawan dijadikan “Angkatan Kelima” dalam ABRI. Hal ini jelas tidak dapat diterima oleh TNI. Sementara itu usaha-usaha mempersenjatai para sukarelawan diteruskan antara lain melalui Soebandrio dan Marsekal Omar Dhani (Menteri Luar Negeri dan KSAU) pada masa itu.

Mulai bulan Juli atau akhir Juni 1965, PKI menyusun rencana untuk menghancurkan pimpinan TNI AD yang menghalanginya dalam segala bidang. Pelaksanaan rencana itu dikaitkan dengan kondisi kesehatan Presiden. Pada bulan Agustus, Soekarno terkena serangan flu yang gawat sekali. Berbagai macam dugaan muncul berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Saat itulah PKI menyusun rancana untuk menggantikan pimpinan TNI AD dengan “Perwira-perwira Progresif” agar penghalang rencana PKI untuk menjadi “ahli waris Bung Karno” tidak mendapat halangan lagi. Dalam rangka rencana itu PKI menyebarkan desas-desus bahwa pimpinan TNI AD yang tergabung dalam “Dewan Jenderal” dan bekerjasama dengan CIA akan mengadakan coup d’etat pada saat Soekarno jatuh sakit. Di balik desas desus ini kaum komunis telah menyiapkan coup d’etat mereka sendiri. Kesempatan mereka tiba menjelang perayaan ulang tahun ABRI. Pada saat itulah “Perwira-perwira Progresif” berhasil memasukkan pasukannya ke Jakarta dalam rangka parade ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober. Sebelum saat perayaan tiba mereka telah melancarkan operasi militer yang mereka namakan Gerakan 30 September. Pada malam yang naas itu 6 orang Jenderal Pimpinan TNI AD dibunuh secara kejam, tetapi Jenderal A.H. Nasution dapat meloloskan diri. Komandan Kostrad Jenderal Soeharto kemudian mengambil alih pimpinan AD dan bertindak cepat untuk menguasai keadaan. Operasi militer dilancarkan mulai tanggal 1 Oktober 1965. Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi berhasil direbut. Pada hari itu juga Kota Jakarta telah dapat dikuasai kembali. Selanjutnya setelah diketahui bahwa basis utama G 30 S/PKI berada di sekitar Lanuma Halim Perdanakusuma, maka mulailah dilakukan persiapan-persiapan untuk membebaskan Halim. Kekuatan PKI pun hancur berantakan.

Menghadapi situasi yang terdesak dan karena tidak adanya dukungan ABRI dan masyarakat pemimpin PKI DN Aidit meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dan kemudian selalu berpindah-pindah tempat. Namun ABRI dengan bantuan masyarakat terus berusaha menghancurkan kekuatan G 30 S/PKI juga di berbagai tempat di seluruh pelosok tanah air. Aidit kemudian ditangkap di Manisrenggo Solo dan kemudian dihabisi di daerah Ungaran. Situasi Jawa Tengah saat itu tidak memungkinkan untuk membawa Aidit ke Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUMBER DAN TEORI MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA

            SUMBER MASUKNYA AGAMA DAN KEBUAYAAN HINUD-BUDHA DI INDONESIA a. Sumber Dari India Bukti adanya hubungan dagang tersebut dapa...